Review Film: Smile

Hiburan

Smile merupakan tayangan tahun ini yang bisa membuat pencinta film horor sedikit bernostalgia dengan film-film horor lawas, seperti The Ring atau Drag Me To Hell. Tone warna, plot minim kejutan yang biasanya dipakai film horor 2000-an, dihidupkan kembali dalam film Smile.

Ada adegan-adegan yang saya harapkan bisa diperdalam di pertengahan film atau menjadi plot twist di akhir cerita, tapi Smile memilih tidak mewujudkan angan saya. Namun, saya sebagai penonton masih sangat bisa menikmati ketidaknyamanan dari teror yang diberikan film berdurasi 115 menit tersebut. Teror diberikan lewat jump scare dan adegan gore bertubi-tubi. Namun, sebagian besar kengerian tidak ditampilkan lewat keberadaan hantu, setan, atau monster, melainkan hal-hal keseharian, seperti bunyi telepon.

Penonton semacam diberikan kode bahwa detik-detik jump scare tersebut akan muncul. Namun, jump scare itu malah muncul pada saat yang lain. Hal itu lah yang kemudian membuat saya sebagai penonton semakin merasa tidak nyaman menantikan jump scare itu muncul. Tak hanya itu, rasa tidak nyaman tersebut juga diperkuat dengan backsound serta sound effect yang benar-benar mengganggu.

Rasa takut atau seram itu sendiri muncul bukan dari jump scare yang diberikan, melainkan dari hal-hal yang sesungguhnya sangat bisa mungkin terjadi, seperti melihat sosok yang dikenal tapi sesungguhnya tidak ada. Kondisi tersebut yang membuat karakter utama dan penonton bermain dengan pikiran mengenai kondisi yang terjadi. Smile sejatinya mengisahkan psikiater Rose Cotter (Sosie Bacon) yang menjadi saksi pasiennya bunuh diri. Tanpa ia sadari, hal itu benar-benar mengubah kehidupannya, termasuk memperkuat trauma masa lalu.